Tuscaloosapho to Grapher : Jejak Fotografer dari Alabama
Ada sesuatu yang unik tentang cahaya di Tuscaloosa.
Bukan karena lokasinya di Deep South Amerika, bukan pula karena dekat dengan Sungai Black Warrior meski keduanya berperan. Tapi karena cahaya itu jatuh dengan cara yang mengajakmu berhenti sejenak. Mengangkat kamera. Menahan napas. Lalu menjepret.
Bagi sebagian orang, Tuscaloosa hanyalah kota kecil di Alabama tanah sepak bola perguruan tinggi dan pepohonan rindang. Tapi bagi saya, dan beberapa fotografer lain yang tumbuh di sini, kota ini adalah guru pertama dalam seni melihat.
Dari “Tuscaloosapho” ke Dunia Fotografi Profesional
Istilah “Tuscaloosapho” muncul lucu-lucuan di kalangan teman-teman kuliah dulu gabungan Tuscaloosa dan photo, tentu saja. Kami menyebut diri begitu saat pertama kali membawa kamera DSLR ke lapangan kampus, mencoba menangkap momen harian dengan gaya street photography ala Garry Winogrand, meski sebenarnya hanya sedang memotret teman yang tertidur di perpustakaan.
Tapi dari sanalah semuanya dimulai.
Saya tak pernah bermimpi jadi fotografer profesional. Awalnya, kamera hanyalah cara untuk tidak merasa sendirian. Setiap kali krisis kecil melanda putus cinta, nilai ujian anjlok, atau hanya bosan saya keluar rumah dengan kamera analog lama pemberian paman. Berjalan tanpa tujuan pasti, mata mencari. Dan di situlah Tuscaloosa bicara: lewat bayangan di teras toko kopi, senyum penjual koran di sudut jalan, atau kilatan mata seorang nenek yang baru saja kehilangan suaminya.
Belajar Melihat, Bukan Hanya Memotret
Banyak orang mengira fotografi itu soal peralatan. Lensa mahal, sensor besar, ISO rendah. Tapi pengalaman saya mengajarkan sebaliknya: fotografi itu soal keberanian melihat dengan jujur.
Di Tuscaloosa, saya belajar bahwa momen terbaik bukan yang paling spektakuler, tapi yang paling manusiawi.
Contohnya, suatu sore musim gugur 2018, saya duduk di bangku taman dekat Bryant-Denny Stadium. Seorang anak kecil paling lima tahun berlari mengejar daun kering yang tertiup angin. Ayahnya mengikuti dari belakang, tersenyum lelah tapi penuh cinta. Saya potret itu dengan kamera film ISO 400. Tidak ada trik, tidak ada editing. Hanya cahaya keemasan, gerakan alami, dan emosi yang nyata. Foto itu kemudian dimuat di majalah lokal, dan seorang redaktur mengirimi saya email:
“Ini bukan foto biasa. Ini cerita.”
Itulah saat saya sadar: saya bukan sekadar mengambil gambar. Saya menceritakan hidup.
Tantangan Menjadi Fotografer di Kota Kecil
Tentu, jalan ini tak semulus filter Instagram.
Menjadi fotografer di kota kecil seperti Tuscaloosa punya tantangan tersendiri. Klien sering mengira “fotografer profesional” hanya berarti wedding photographer atau portrait studio. Ketika saya menawarkan layanan dokumenter atau street photography, banyak yang bingung.
“Mau difoto di mana? Di jalanan?”
“Iya.”
“Kenapa nggak di studio? Di sana lebih rapi.”
Saya tak menyalahkan mereka. Di tempat kecil, seni visual sering dianggap mewah sesuatu yang hanya pantas ada di kota besar. Tapi justru di sanalah peran saya sebagai fotografer: menjembatani antara keindahan sehari-hari dan cara orang melihatnya.
Perlahan, saya mulai mengadakan pameran mini di kafe lokal, mengajar workshop gratis di komunitas seni, bahkan kolaborasi dengan penulis lokal untuk proyek foto-esai. Satu per satu, orang Tuscaloosa mulai melihat lagi bukan hanya dengan mata, tapi dengan rasa.
Pelajaran yang Tak Diajarkan di Kelas Fotografi
Dari perjalanan ini, ada beberapa hal yang tak pernah diajarkan di buku panduan:
- Kesabaran lebih penting daripada kecepatan rana.
Momen terbaik sering datang setelah kamu menunggu 45 menit di bawah hujan gerimis. - Peralatan bukan segalanya tapi koneksi ya.
Kamera murah dengan lensa plastik bisa menghasilkan foto yang menggetarkan, asal kamu tahu siapa yang ada di balik lensa itu. - Kota kecil bukan batasan itu keunggulan.
Di Tuscaloosa, semua orang saling kenal. Artinya, kepercayaan lebih mudah dibangun. Dan kepercayaan adalah fondasi fotografi manusia. - Gagal itu bagian dari proses dan kadang hasilnya justru indah.
Roll film pertama saya rusak karena salah proses. Tapi bocoran cahaya dan noda kimia itu justru menghasilkan tekstur yang tak bisa direplikasi digital.
Mengapa Tuscaloosa Masih Jadi Rumah bagi Fotografer
Sekarang, saya sering bepergian New York, Portland, bahkan Tokyo untuk proyek fotografi. Tapi setiap kali kembali ke Tuscaloosa, ada rasa tenang yang tak bisa dijelaskan.
Kota ini mengajarkanku bahwa fotografi bukan soal eksotisme, tapi keaslian. Bahwa keindahan tak selalu di puncak gunung, tapi kadang di bangku taman yang catnya mulai mengelupas.
Dan mungkin, itulah yang membuat “Tuscaloosapho” bukan sekadar lelucon kampus. Itu identitas. Cara hidup. Sebuah pengakuan bahwa tempatmu berasal membentuk caramu melihat dunia.
Tips untuk Fotografer Pemula dari Kota Kecil
Jika kamu juga tumbuh di tempat kecil dan bermimpi jadi fotografer, ini beberapa hal yang bisa kamu coba:
- Mulai dari lingkungan terdekat.
Tetangga, pasar tradisional, atau bahkan halte bus—semuanya punya cerita. - Bangun komunitas, bukan portofolio dulu.
Orang akan lebih mudah percaya jika mereka mengenalmu sebagai manusia, bukan sekadar “tukang foto”. - Jangan takut pakai peralatan sederhana.
Smartphone pun bisa jadi alat hebat yang penting matamu tetap tajam. - Dokumentasikan perjalananmu sendiri.
Karena suatu hari nanti, orang akan ingin tahu bagaimana kamu memulai.
Tuscaloosa mungkin bukan Paris atau New York. Tapi di sini, di antara pepohonan oak dan suara kereta sore hari, saya menemukan suara visual saya sendiri.
Dan siapa tahu mungkin di suatu sudut kota kecilmu, ada kamera yang menunggu untuk bercerita.
Apa pun kota asalmu, jangan pernah meremehkan kekuatan “rumah” sebagai guru pertama dalam seni melihat.
Karena pada akhirnya, bukan kamera yang membuat fotografer.
Tapi cara ia memandang dunia dan berani menunjukkannya.